Oleh: ummafidz
Rasulullah ﷺ, dengan sorot matanya yang dalam dan tajam, mengucap kata yang membuat udara terasa beku: “Sesungguhnya ia termasuk penghuni neraka.”
HIDUP bukan selalu cerita kemenangan. Kadang ia datang sebagai luka yang tak kunjung sembuh, sesak yang tak bisa diurai, tangis yang ditahan hingga kering. Dalam jalan sunyi itu, ada jiwa yang goyah, yang memilih menyerah pada rasa sakit yang tak kasat mata. Tapi adakah ruang di surga untuk mereka yang jatuh bukan karena ingkar, melainkan karena lelah?
Mari kita berjalan sejenak ke masa lalu, ke hari ketika Nabi Muhammad ﷺ mendengar kabar bahwa salah satu sahabatnya yang ikut bertempur di jalan Allah memilih mengakhiri hidupnya sendiri.
Hari itu, matahari belum turun dari ubun-ubun ketika pasukan kembali dari medan perang. Salah satu dari mereka, seorang yang gagah, berani, dan penuh luka, tak kembali dalam keadaan biasa. Ia ditemukan terbujur diam, bukan karena pukulan musuh, melainkan karena ia sendiri yang menusukkan pedang ke tubuhnya.
Orang-orang memandangnya sebagai syahid. Tetapi Rasulullah ﷺ, dengan sorot matanya yang dalam dan tajam, mengucap kata yang membuat udara terasa beku: “Sesungguhnya ia termasuk penghuni neraka.”
Betapa terkejut para sahabat. Mereka tak paham, mengapa seorang pejuang bisa masuk neraka? Tapi Nabi mengetahui apa yang tak terlihat: ia menyerah, sebelum takdir menjemputnya.
Dalam riwayat lain, Rasulullah ﷺ tidak ikut menyalatkan jenazah orang yang bunuh diri. Namun, beliau juga tidak melarang sahabat lain untuk menyolatkannya. Tak ada caci, tak ada kutuk, hanya hening yang mengajarkan makna: bahwa Allah itu Maha Pengasih, tapi hidup ini tetap suci dan tak boleh diakhiri dengan paksa.
Zaman telah berganti, tapi manusia tak banyak berubah. Kini, tak perlu pedang dan medan perang, cukup tekanan hidup, hutang yang menumpuk, cinta yang tak pulih, atau sunyi yang merajam hari-hari. Di balik senyum yang dibuat-buat, ada jiwa-jiwa yang perlahan karam.
Islam tak tinggal diam. Ia menolak bunuh diri, bukan karena tak paham rasa sakit, tapi karena tahu bahwa luka yang ditahan bisa berubah menjadi cahaya bila diserahkan pada Yang Maha Menyembuhkan.
Bunuh diri adalah dosa, tapi bukan berarti tak ada lagi harapan. Rasulullah ﷺ tak pernah mencabut keislaman orang yang melakukannya. Ia tetap disebut “hamba Allah”. Dosa besar bukan akhir dari segalanya, selama tauhid masih bersemayam di dada.
Saat ini, dunia butuh pelita. Kita harus jadi pelindung bagi jiwa-jiwa yang lelah, bukan hakim yang hanya pandai menghukum. Barangkali, satu kalimatmu bisa menggagalkan rencana bunuh diri seseorang. Barangkali, satu pelukanmu bisa menyelamatkan keimanannya.
Sama seperti Rasulullah ﷺ yang selalu membuka pintu maaf bahkan untuk yang jatuh paling dalam, kita pun harus belajar untuk mengasihi sebelum menasihati, memahami sebelum menghakimi.
Di tengah derasnya dunia dan hiruk-pikuk kehidupan, ada suara lirih dari jiwa-jiwa yang sedang tenggelam. Jika engkau mendengarnya, jangan berpaling. Jadilah tangan Allah yang menolong, seperti Nabi yang selalu hadir untuk umatnya, bahkan ketika umatnya tak sanggup lagi berdiri.
“Dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tidak ada yang berputus asa dari rahmat Allah kecuali orang-orang yang kafir.”
(QS. Yusuf: 87)
Karena sesungguhnya, rahmat Allah lebih luas dari luka mana pun. Dan setiap jiwa, selama masih menyebut nama-Nya, berhak untuk kembali pulang. **
Ikuti info lain di Facebook, Instagram, dan WA Channel: https://whatsapp.com/channel/0029VaDcLx896H4QJGQ1ZS0v
The post NABI MUHAMMAD MENANGISI JIWA YANG LELAH appeared first on infogunungkidul.